KEBERAGAMAN DITENGAH KEPICIKAN

(Robby Simamora)

Saya menghentikan diskusi ketika seorang ibu berjilbab menyapa kami di pelataran gereja pada Minggu pagi itu. Dengan menggendong sebuah bakul, ia menjajakan gorengan dan makanan ringan hasil olahan sendiri kepada kami. Saya membeli empat buah bakwan dan membagikannya kepada teman-teman. “Terimakasih, nak”, katanya saat menerima uang dariku. Ia pun berlalu dan menyapa umat lainnya.
Begitu setiap hari Minggu sehabis misa, ia menjajakan gorengan kepada umat Katolik di gereja yang kontroversial itu. Muslimah paruh baya itu seakan tidak peduli ketika orang-orang di sekitar tempat tinggalnya yang mempersoalkan keberadaan gereja di dalam kompleks Sekolah Dasar milik yayasan pendidikan Keuskupan Padang. Ia bahkan tak ragu-ragu memasuki gereja untuk menerima sumbangan sembako pada hari Natal.
Sikapnya itu kontras dengan elit-elit warga sekitar yang menggagas pembangunan sebuah mesjid megah di (gang) jalan masuk ke sekolah/gereja. Meskipun ia tak kuasa menghentikan suara berisik dari pengeras suara menara mesjid yang dihidupkan saat misa berlangsung, tapi ia telah menunjukkan bagaimana hidup yang saling membutuhkan dengan semua orang.
Saya kira, ibu itu bisa menjadi model pendekatan dalam usaha-usaha membangun hubungan dengan umat lain. Koperasi CU yang baru beroperasi di sekolah/gereja itu, bisa merekrutwarga sekitar terutama yang memiliki usaha kecil menengah. Meskipun baru sebatas kerja sama ekonomi, namun perkenalan dan hubungan yang dibina dalam setiap kegiatan koperasi, lambat laun akan mengikis prasangka-prasangka miring warga Muslim terhadap Gereja.
Pengembangan kapasitas dialog di kalangan umat Kristiani juga mendesak diwujudkan mengingat kian suburnya prasangka-prasangka negatif itu. Prasangka buruk dan kecurigaan terhadap yang lain, tidak hanya dimiliki sebagian umat Islam, tapi juga terjadi di kalangan umat Kristiani.
Seorang umat Katolik yang memiliki hubungan akrab dan bersahabat dengan warga Muslim di kompleks tempat tinggalnya, sering dianggap berlebihan oleh tetangganya yang juga Kristen. Pernah ia mengusulkan agar rapat RT diadakan di rumahnya dan ia akan meminta bantuan tetangga untuk menyiapkan konsumsi rapat. Namun, inisiatifnya ini disepelekan oleh salah seorang warga yang lebih senior,penganut agama Kristen Protestan.
Pernah pula, saat ia bersama warga lain sibuk menolong mobil warga yang terperosok ke dalam parit got, tiba-tiba seorang tetangga yang juga Protestan lewat begitu saja sambil berpesan, “Perlu korek api?”
Saya sendiri pernah mengalami hal serupa. Sebelum mengikuti misa, saya berdiskusi dengan seorang teman yang berasal dari Atambua mengenai suara-suara ribut yang berasal dari mesjid di dekat gereja. Kami sepakat untuk menemui penjaga mesjid dan menyampaikan komplain. Tapi dengan cara yang sopan dan ramah. Tapi muncul seorang mudika dan menyergah, “Ngapai kamu urus itu? Itu urusan para Pengurus Stasi. Urus saja anak-anak PAUD mu.”
Dalam sebuah seminar bertajuk kearifan nilai-nilai agama untuk membangun kehidupan bersama, seorang pembicara dari MUI Sumatera Barat mengatakan bahwa, ibarat kata pepatah tak kenal maka tak sayang, maka untuk membangun sebuah dialog antaragama, terlebih dahulu perlu mengenal pondasi agama-agama seperti yang pernah dikatakan Hans Kung. Perkenalan itu untuk menepis segala kecurigaan dan kedangkalan berpikir di kalangan umat beragama.
Kalau dibawa ke konteks budaya masyarakat Minangkabau di Sumbar, maka kita perlu menggali nilai-nilai kearifannya yang mengatur kehidupan dengan orang lain yang berbeda suku dan agama. Menanggapi kasus pengusiran warga pendatang dari Nias di Kabupaten Pasaman Barat oleh masyarakat Minang setempat pada awal 2011, Direktur LBH Padang Vino Oktavia Mancun, menegaskan bahwa penggusuran itu murni pelanggaran HAM, yaitu hak untuk hidup dan hak untuk tinggal di suatu wilayah.
Dalam suatu diskusi dengan penulis, putera asli Nagari Cupak Kabupaten Solok itu juga menjelaskan bahwa fungsi sosial dari sistem kepemilikan tanah ulayat Minangkabau ditunjukkan dengan adanya aturan pinjam-pakai tanah ulayat bagi para pendatang. Siapapun dia. Adanya tata cara Malakok, yaitu prosesi adat Minang untuk mengangkat/mengesahkan seseorang dari luar (pendatang) untuk menjadi anggota dari sebuah suku. Dari situlah lahir hak-hak orang tersebut, termasuk hak mengelola tanah ulayat untuk kehidupan keluarganya.
Ia menyesali ada orang-orang Minang yang berpikiran sempit dan tidak mengenal ajaran adatnya. “Bagaimanapun masyarakat Minang itu bersifat egaliter dan terbuka. Termasuk untuk perubahan sosial”, katanya. Sebagaimana sebuah pribahasa Minang mengatakan, Sakali aie gadang, sakali tapian barubah (Sekali air besar datang, sekali itu pula tempat pemandian di tepi sungai berubah posisi). Artinya, arus dinamika dan perkembangan masyarakat akan membawa perubahan pada tatanan nilai-nilai yang ada. Ini tidak dapat dihindari.
Maka hanya mereka yang picik dan sempit cara berpikirnya yang tidak mau hidup berdampingan dengan orang lain yang berbeda suku dan agama. Namun, jika batu saja yang keras akhirnya lapuk dimakan waktu, begitupun dengan kepicikan dan ketertutupan diri yang membatu. Semoga!    


Penulis adalah pemikir filsafat politik;
sedang belajar di Universitas Andalas, Padang

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama