Menanti Penanganan Limbah Pembakaran Batubara (FABA) di tangan Jokowi

 Ini yang Bisa Diolah dari Fly Ash Bottom Ash | Republika Online

Belum genap 5 bulan setelah UU Cipta Kerja disahkan oleh DPR (walaupun memicu penolakan dan unjuk rasa dimana-mana), pemerintah bergerak cepat menyelesaikan aturan-aturan turunannya dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) dan instruksi presiden (inpres). Tercatat, hingga hari ini (24/3), pemerintah telah menerbitkan puluhan PP maupun inpres. Katanya sih, untuk mempercepat dan menjaga ekonomi negara.

Per tanggal 2 Februari 2021, pemerintah lewat Peraturan Pemerintah Nomor 22 tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang memicu polemik kembali ditengah-tengah masyarakat. Apa sebab, pemerintah mengeluarkan limbah pembakaran batubara (fly ash dan bottom ash atau yang biasa disebut FABA) dari kategori limbah bahan berbahaya beracun (limbah B3). Pemerintah mengeluarkan fly ash batubara sebagai limbah non B3 karena dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku konstruksi semen pozzolan.

Fly ash and bottom ash (FABA) merupakan material yang memiliki ukuran butiran yang halus berwarna keabu-abuan dan diperoleh dari hasil pembakaran batubara (Wardani, 2008). Biasanya, pada pembakaran batubara di PLTU atau pabrik industri yang menggunakan batubara sebagai bahan bakarnya, terdapat limbah padat yaitu abu terbang (fly ash) dan abu dasar (bottom ash). Partikel abu yang terbawa gas buang disebut fly ash, sedangkan partikel abu yang tertinggal dan dikeluarkan dari bawah tungku disebut bottom ash (Faiz R, 2019).

Nah, abu terbang ini kemudian terbawa keluar oleh sisa-sisa pembakaran dan (biasanya) ditangkap dengan menggunakan elektrostatik precipitator. Biasanya, setiap cerobong asap pabrik industri atau PLTU dilengkapi dengan alat ini dengan tujuan untuk mengurangi polusi. Perlu diketahui, abu batubara yang terhirup oleh makhluk hidup dapat menyebabkan pneumoconiosis atau paru-paru hitam. Penyakit ini timbul karena penumpukan debu batubara dalam paru. Penumpukan ini membuat jaringan paru mengerah sehingga megurangi kemampuan fungsinya.

Fly ash terdiri dari bahan inorganik dan memadat akibat tersuspensi dalam gas buangan, sehingga partikel fly ash biasanya berbentuk bulat, dengan ukuran 0,074-0,004 mm. Bahan ini terdiri dari Silikon Dioksida (SiO2), Aluminium Oksida/alumina (Al2O3) fero oksida (Fe2O3), kalsium oksida (CaO), Magnesium Oksida (MgO), Titanium Oksida (TiO2), alkalin (Na2O dan K2O), sulfur trioksida (SO3), posfor oksida (P2O3) dan karbon (Wardani, 2008).

Jika kita melihat aturan-aturan pemerintah sebelumnya, contoh seperti yang terdapat dalam PP Nomor 85 tahun 1999, tentang pengelolaan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), FABA dikategorikan limbah B3 karena mengandung kandungan oksida logam berat yang akan mengalami pelindihan secara alami dan mencemari lingkungan. Pada pasal 3 disebutkan bahwa setiap orang yang melakukan usaha dan atau kegiatan yang menghasilkan limbah B3, dilarang membuang limbah B3 yang dihasilkannya itu secara langsung ke dalam media lingkungan tanpa pengolahan terlebih dahulu.

Seiring dengan kemajuan teknologi saat ini, FABA kemudian dilihat berpotensi untuk dimanfaatkan. Beberapa produk yang bisa dihasilkan dari FABA diantaranya adalah semen, corn block, pupuk, sebagai lapisan penutup material asam (Potential Acid Forming/PAF) serta sebagai bahan untuk menetralkan air asam tambang (AAT). Tentu saja, diluar segudang manfaat seperti yang diuraikan di atas, dalam penanganannya, FABA harus tetap diperlakukan dengan sangat hati-hati.

Saat ini, kebutuhan energi di Indonesia diperkirakan sebesar 1.050, 3 juta barel setara minyak. Ditambah dengan adanya rencana pembangunan beberapa PLTU baru dengan kapasitas 35.000 MW atau 35GW, maka permasalahan lingkungan yang dianggap cukup penting dari kegiatan ini adalah abu batubara. Limbah padat yang dihasilkan tersebut diperkirakan akan bertambah signifikan dan semakin bertumpuk bila tidak dimanfaatkan secara massif. (Damayanti, 2018).

Tentu menarik melihat bagaimana atau apa yang menjadi pertimbangan pemerintah sehingga mengeluarkan limbah pembakaran batubara (FABA) dari kategori limbah bahan berbahaya beracun (B3) ini.

Sudah menjadi rahasia umum, bahwa banyak menteri di lingkaran Jokowi adalah penggiat bisnis tambang. Apakah aturan ini untuk mengakomodir kepentingan mereka? Hanya Tuhan dan Jokowi yang tahu.

Sebenarnya, menurut hemat saya. Langkah Jokowi mengeluarkan FABA dari kategori limbah B3 boleh disebut benar dan salah. Disebut benar, karena ternyata FABA dapat dimanfaatkan sehingga memperoleh value lebih (namun tetap FABA harus mendapatkan penanganan yang tepat). Disebut salah, karena jika FABA tidak ditangani dengan baik dan dibuang dengan sembarang, bukan tidak mungkin, limbah ini akan menjadi momok utama  yang merusak lingkungan.

Tentu menjadi harapan kita bersama,  ke depan kita tidak melihat ada PLTU ataupun industri yang membuang FABA secara sembarangan tanpa mendapatkan penanganan/pengolahan terlebih dahulu. Toh, sekeren apapun energi yang dihasilkannya, sampai saat ini batubara belum menjadi daftar menu makanan warung sebelah

 Gregorius Bryan G. Samosir

Penulis merupakan Ketua Presidium PMKRI Cabang Padang periode 2020/2021. Saat ini mengambil jurusan Teknik Pertambangan di Universitas Negeri Padang.

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama