(Simon Bernad Romario Sitanggang S.E.)
Seperti
yang kita ketahui, jenjang pendidikan di Indonesia dimulai dari taman kanak-kanak, kemudian dilanjutkan ke sekolah dasar, sekolah
menengah pertama, sekolah menengah atas, hingga
ke perguruan tinggi. Dan sekarang pemerintah mencanangkan tingkat pendidikan minimal SMA/SMK, dengan program wajib
belajar 12 tahun. Pilihan
jenjang pendidikan SMA atau
SMK pun menghasilkan persepsi yang berbeda di masyarakat.
Ada yang mengatakan, jika
menuntut ilmu di SMK, siswa disiapkan dengan
pendidikan keahlian dan kemampuan yang dibutuhkan dalam dunia kerja. Sedangkan
bila di SMA, siswa masih
perlu melanjutkan pendidikan ke
jenjang yang lebih tinggi yaitu perguruan tinggi. Dewasa ini, tuntutan masyarakat akan pendidikan adalah untuk
memperoleh pekerjaan yang lebih baik
sehingga setelah tamat SMA akan lebih baik mengenyam
ilmu di perguruan tinggi terlebih dahulu.
Dukungan orangtua dan pemikiran yang berkembang di masyarakatlah yang pada akhirnya
mendesak seseorang untuk
kuliah.
Tanpa
adanya pemahaman yang baik dari calon
mahasiswa, maka arah pendidikan
tingkat perguruan tinggi ini
menjadi tidak jelas. Jika kita menoleh sebentar ke belakang, melihat “gaya anak
kuliah” sampai
akhir tahun 90-an,
terlihat gaya yang penuh dengan
pergerakan hingga
menghasilkan titik-titik sejarah. Namun setelah
tahun 2000-an, “gaya anak kuliah” tidak jauh berbeda dengan “gaya
anak SMA”. Hal-hal seperti itu yang
terus-menerus mengerus kaum mahasiswa yang di lain pihak masih kurang
memahami tridharma perguruan tinggi.
Mahasiswa
sebagai kaum intelektual bangsa dengan jumlah
5 persen dari populasi warga negara Indonesia, berkewajiban
meningkatkan mutu diri secara khusus sesuai bidang keilmuan yang dipelajari
agar mutu bangsapun meningkat. Semua kegiatan yang dilakukan mahasiswa dalam
hidupnya harus didasari pertimbangan rasional, bukan dengan adu otot. Itulah
yang disebut kedewasaan mahasiswa. Penelitian mahasiswa bukan hanya akan
mengembangkan diri mahasiswa itu sendiri, namun juga memberikan manfaat bagi
kemajuan peradaban dan kepentingan bangsa kita dalam menyejahterakan bangsa.
Selain pengembangan diri secara ilmiah dan akademis, mahasiswapun harus
senantiasa mengembangkan kemampuan dirinya dalam hal soft skill dan mengontrol emosi dalam menyelesaikan
segala masalah. Mahasiswa harus mengembangkan pola pikir yang kritis terhadap
segala fenomena dan mengkajinya
secara keilmuan.
Mahasiswa menempati lapisan kedua dalam relasi
kemasyarakatan, yaitu berperan sebagai penghubung antara masyarakat dengan pemerintah.
Mahasiswa memang memiliki posisi paling
dekat dengan rakyat sehingga
sewajarnya lebih memahami
kondisi masyarakat.
Adalah kewajiban mahasiswa sebagai front line dalam
masyarakat untuk mengkritisi berbagai kebijakan pemerintah terhadap rakyat. Sudah
menjadi rahasia umum, bahwa sebagian besar keputusan
pemerintah di masa ini sudah terkontaminasi oleh berbagai kepentingan pribadi atau golongan. Nah, di sinilah mahasiswa dituntut untuk memiliki mata bening dengan artian tidak
ternodai kepentingan-kepentingan serupa.
Harus mampu melihat segala sesuatu secara jernih. Melihat secara radikal terhadap intrik
politik yang tidak jarang mengeksploitasi kepentingan rakyat. Itu mengapa mahasiswa
berperan sangat penting untuk
membela kepentingan masyarakat. Tapi
tentunya
tidak melalui jalan kekerasan dan aksi chaos, namun menjunjung
tinggi nilai-nilai luhur pendidikan.
Kaji, pahami, dan sosialisasikan kepada rakyat.
Seharusnya memahami
peran mahasiswa dengan benar menjadi karakter arus kehidupan di perguruan
tinggi. Mahasiswa dengan latar belakang ilmu yang berbeda-beda, akan dapat
membuka mata rakyat dalam menyelesaikan masalah, sebagai salah satu bentuk
pengabdian terhadap masyarakat. Hal-hal tersebut di atas merupakan
hal yang fundamental untuk diketahui oleh mahasiswa dalam menjalani perannya
yang memang sudah digariskan sejak masuk jenjang pendidikan tinggi di
Indonesia.
Tags
ARTIKEL