Uli Mariawati Sihotang |
Begitu banyak perubahan
yang saya alami dengan
bergabung bersama PMKRI. Salah satunya adalah motivasi
saya. Semasa MPAB, motivasi saya bergabung
dengan PMKRI hanyalah sekedar mencari pengalaman berorganisasi dan memperbanyak
teman. Tetapi di MABIM, motivasi saya berubah menjadi mencari jati diri melalui proses yang ada, karena saya belum mengenal
diri saya seutuhnya.
Setelah dilantik, saya merasakan hal-hal yang luar
biasa, karena bertemu dengan orang-orang yang memiliki cara pandang dan pola
pikir yang maju. Baik dalam
diskusi maupun rapat, saya bertemu dengan orang-orang yang kritis. Kritis, bukan berarti
mengkritik habis-habisan, karena para anggota yang lebih dahulu masuk sangat
aktif dan kreatif dalam menghasilkan sebuah solusi. Segala macam bentuk masalah
sosial selalu dianalisis terlebih dahulu sebelum masuk pada pemecahan
masalahnya. Bukan hanya
itu, bahasa yang digunakan sangat berat dan menggunakan istilah-istilah yang hampir
tak pernah saya dengar. Dari proses tersebut, saya belajar untuk berpikir
logis, kritis dan praktis.
Berangkat dari hal tersebut di atas, saya diajak untuk bergabung di DPC
(Dewan Pimpinan Cabang) periode 2010/2011 menjadi biro presidium pendidikan. Segala job
desk tiap bidang
tentunya harus dipahami. Presidium pendidikan menegaskan, bahwa tugas kami di DPC ialah mendidik orang-orang di PMKRI menjadi seorang
kader, baik itu dari segi
intelektualitas, spiritualitas, maupun fraternitas. Segala macam bentuk
pendidikan di PMKRI adalah tugas dan tanggung
jawab DPC. Dan sudah sewajarnyalah DPC
menjadi panutan bagi anggota lainnya
di perhimpunan. Proses regenerasi
tetap berlanjut, khususnya dari bidang pendidikan dan kaderisasi. Tetapi di pertengahan periode,
saya sangat pesimis, karena jumlah calon anggota PMKRI malah semakin menipis. Belum
lagi meningkatkan jumlah anggota yang pasif (tidak terlibat aktif di
perhimpunan), yang dirasa tidak begitu menjanjikan perhimpunan ke depannya. Hal
itu menjadi pengalaman dan proses pembelajaran bagi saya. Tidak hanya PMKRI, organisasi manapun yang menuntut loyalitas terhadap
masyarakat memang sulit dalam menemukan generasi penerus.
Seiring berjalannya waktu, minat bergabung bersama PMKRI mulai meningkat. “PMKRI
sudah mulai maju dan dikenal di masyarakat”, batin saya. Tentunya yang terlintas di pikiran saya
saat itu adalah, PMKRI sudah punya masa depan. Kepesimisan yang dulu sempat
muncul, kini telah berganti dengan optimisme bahwa PMKRI akan maju dan semakin
dekat dengan visinya. Begitu besar harapan dan cita-cita yang diberikan kepada
generasi baru ini.
Tetapi, ada satu hal yang masih dianggap menjadi pengaruh buruk untuk
kelangsungan hidup perhimpunan ke depan, yaitu budaya yang memberi pengaruh negatif. Budaya seharusnya adalah kegiatan, perilaku, ataupun
hal-hal yang diterima oleh masyarakat, sehingga menjadi kebiasaan sejak turun
temurun dalam sebuah lingkungan demi mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi
budaya yang ada di PMKRI Cab. Padang adalah, setelah anggota baru dilantik
menjadi AB, lebih dari 50% hilang dari kegiatan. Apakah itu layak disebut
budaya? Apakah ada tujuan baik yang ingin dicapai dengan budaya seperti itu? Sesungguhnya,
jelas tidak patut disebut sebagai budaya.
Selama 3 tahun saya menjadi saksi
hidup yang mendengarkan segala macam komitmen yang disampaikan para calon AB, namun
pada kenyataannya tidak ada angkatan yang 99% memegang komitmennya, tidak
terkecuali angkatan saya sendiri. Ternyata, hal yang perlu dinilai dalam proses
seleksi anggota PMKRI adalah kualitas, bukan kuantitas.
Kualitas tidak dinilai dari seberapa hebat kita berpikir atau bekerja untuk
PMKRI. Kualitas dinilai dari
seberapa
sanggup kita bertahan dalam dinamika sosial, baik pada aktivitas internal
maupun eksternal. Kualitas dinilai bukan dari seberapa pintar kita di kampus dan
rajin ke gereja saja. Kualitas dinilai dari
seberapa besar kita memaknai dan mewujudkan visi dan misi PMKRI. Dari sini, saya mengambil hikmah dan
menarik beberapa kesimpulan terkait seleksi kader dari segi kualitas dan
kuantitas.
Sering terjadi pro dan kontra di
perhimpunan,
hanya karena memperjuangkan “kader” yang bukan kader. “Kader” yang saya
maksudkan di sini adalah, sosok yang menurut kualitasnya tidak sejalan dengan
makna kader sebenarnya, dan kekaderannya hanya diukur dari keberadaan dan
statusnya yang telah resmi menjadi anggota saja.
Kader berkualitas, itulah yang menjadi roda perhimpunan hingga saat ini.
Ketika kualitas sebagai penilaian utama, akan ada banyak yang kontra terhadap hal ini.
Mengapa demikian? Menurut pandangan dan
pengalaman yang saya lihat dan dengar, penilaian dari segi kualitas dianggap
terlalu mendeskreditkan beberapa orang yang dianggap tidak mampu mencapai titik
standar kualitas tersebut. Padahal, hanya dengan memperhatikan hal-hal yang
kecil dan pemahaman terhadap satu situasi saja, sudah mampu menggambarkan serta menajamkan kualitas seorang kader. Namun tetap saja ada
pandangan yang berbeda, tetap ada pembelaan. Lahirlah jalan keluar yang memberi wadah bagi
“kader” hanya untuk kebutuhan kuantitas.
“Kader” lebih dikenal dari pada kader, karena keberadaannya bisa ditemukan
kapan saja dan di mana saja. Berbeda dengan kader,
kita membutuhkan ketelitian dan kemauan tinggi serta kaca mata yang sesuai
untuk dapat menemukannya. Saya pribadi juga tidak menghakimi bahwa “kader”
berarti tidak berkualitas 100%, hanya saja karena tidak memberikan progres, khususnya perubahan ke arah yang positif terhadap
perhimpunan. Berbeda dengan kader, yang selalu berusaha mencari cara melalui misi
untuk mencapai visi PMKRI. Tidak perlu melakukan usaha yang besar, cukup dengan
memulai dari usaha yang kecil, hingga akhirnya memberikan nilai yang besar
dalam perhimpunan dan untuk lingkungan sekitarnya.
Kita
perlu koreksi diri. Apakah sebagai bagian dari
PMKRI, kita harus berbangga karena pernah tercatat dalam sejarah PMKRI?
Saya rasa, kita perlu berkaca lagi dan bertanya
pada diri sendiri, apa tujuan saya memilih PMKRI? Mengapa saya di PMKRI? Apa
yang harus saya lakukan dan berikan untuk PMKRI? Sudah sejauh mana saya
terlibat dalam
PMKRI? Seiring menjawab
pertanyaan tersebut, maka akan terjawablah pertanyaan, apakah saya sudah
menjadi seorang kader atau masih sekedar “kader”?
Tags
ARTIKEL