Aden Indak Picayo Jo Omnibus Law

 


            Indonesia memasuki masa krisis. Sejak pandemic Covid-19 menghantam Indonesia, masyarakat yang tidak berpunya serta jauh dari lingkar kekuasaan harus bertarung mati-matian agar tetap bisa bertahan melanjutkan hidup. Ini memang masa-masa sulit, tetapi ancaman kematian jauh lebih dekat dan hanya berjarak beberapa sentimeter dari depan hidung kami, rakyat biasa yang hidup dalam keterbatasan ekonomi. Rezim upah murah, kondisi kerja yang tidak aman terutama bagi perempuan, lemahnya perlindungan hukum, perampasan lahan, penghancuran ruang hidup barulah sebagian dari berbagai bentuk pemiskinan lainnya yang harus kami telan selama bertahun-tahun. Negara yang seharusnya menjalankan fungsi perlindungan bagi warga negara justru lalai memenuhi ini semua. Lemahnya pengawasan dan sanksi diperparah dengan kenyataan bahwa seluruh kebijakan yang diambil oleh pemerintah dalam masa pandemi ini malah memperparah pemiskinan yang telah dipaksakan pada kami.

            Dalam kondisi yang serba tidak menentu, tanpa jaringan pengaman apa pun, kita dihadapkan pada pilihan entah mati karena kelaparan akibat dicabutnya sumber penghidupan atau mati karena terpapar virus sebab harus tetap bekerja tanpa adanya perlindungan dan jaminan kesehatan di tengah suasana yang carut-marut hari ini. Nyawa seakan-akan tidak pernah dianggap berharga, ruang-ruang hidup hanya menjadi angka-angka bagi Negara untuk lahan penggusuran yang baru untuk mendirikan pusat perbelanjaan yang lebih modern, yang nyatanya sama sekali tidak berguna untuk rakyat kecil, hanya membuat ruang tidur semakin sesak karena kurangnya pemasukan harian.

            Ketika kita, Rakyat Indonesia, sudah hampir kehabisan napas karena ancaman virus dan hilangnya sumber penghidupan, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) justru bersemangat memperpendek usia kita. Sikap DPR dalam memberlakukan produk legislative yang telah mencabut rasa aman kita sebagai warga negara – padahal itu adalah hak asasi manusia yang wajib dipenuhi oleh negara. RUU Minerba yang menghancurkan tempat hidup dan mengancam nyawa justru disahkan DPR di tengah pandemic. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual yang dapat menjamin hak perlindungan dan pemulihan justru DPR cabut dari Prolegnas 2020. Belum cukup dibuat babak belur, Omnibus Law RUU Cipta Kerja makin didorong, dan DISAHKAN SECEPAT KILAT.

            OMNIBUS LAW Cipta Kerja bukan jawaban atas pandemi dan kondisi ekonomi saat ini. Omnibus Law Cipta Kerja justru akan memperparah krisis yang baru dimulai. Pandemi COVID-19 telah menunjukkan bahwa rezim tenaga kerja lepas hanya membawa pekerja pada kehancuran dan industri yang tidak akan pernah stabil. Perlindungan yang minim, tidak adanya jaringan pengaman, akses bantuan yang tidak merata, serta ketiadaan sanksi bagi pengusaha yang melanggar hak – semuanya menunjukkan bahwa negara tengah menelantarkan pekerja untuk menjemput ajalnya masing-masing. Omnibus Law Cipta Kerja hanya akan melegalisasi dijualnya Warga Indonesia sebagai tenaga kerja murah bagi Investor. Dengan mengesahkan UU Omnibus Law Cipta Kerja, maka DPR RI dan pemerintah Indonesia telah memberikan sertifikat bagi Negara Indonesia untuk kembali menjadi bangsa budak – dan adalah UU Cipta Kerja yang menjaminnya.

            Tidak cukup menjadikan warga negaranya sebagai budak lewat penciptaan tenaga kerja murah, DPR RI dan Pemerintah membiarkan bumi Indonesia dihancurkan. Kebakaran lahan, kabut asap, banjir bandang, gempa bumi akan menjadi hadiah rutin bagi Ibu Pertiwi. Hilangnya tanah yang subur, laut yang kaya, air yang jernih, dan udara yang bersih juga telah bersiap melanda Indonesia. Investasi yang dihadirkan lewat Omnibus Law adalah investasi bodong karena hanya akan menghadirkan krisis besar-besaran. Murahnya perizinan membuka usaha, proses investasi yang semakin dipermudah, akan membuka peluang untuk tergusurnya ruang-ruang hidup. Pasar-pasar tradisional yang tidak memberikan dampak yang cukup baik bagi investor, akan digusur menjadi pasar-pasar mewah seperti mall dan pusat-pusat perbelanjaan yang bahkan tidak menerima tarompa japang di lantai berkilau mereka. Hal positif apalagi yang perlu kita percaya dengan hadirnya Omnibus Law, bahkan jauh sebelum Omnibus Law ini disahkan, perampasan ruang hidup sudah dilakukan oleh Negara. Siapa yang bisa menjamin bahwa pusat perbelanjaan BASCO GRAND MALL taat AMDAL (Analisis Menganai Dampak Lingkungan), pusat perbelanjaan TRANS Mart ramah dengan lingkungan? MALAHAN YANG TERJADI, DI TANAH KITA SENDIRI, KITA MENJADI BUDAK, PEKERJA KEBERSIHAN, TUKANG PARKIR, dan kios kios di dalam pusat perbelanjaan tersebut diisi oleh kalangan mereka yang lidahnya mampu menjilat sampai ke ketiak penguasa. Kita tidak perlu terus menipu diri dengan berpikir bahwa Omnibus Law, terutama UU Cipta Kerja, adalah penyelamat. Yang ada justru maut yang sedang kita jemput. Persoalan UU Cipta Kerja bukan semata persoalan klaster ketenagakerjaan, melainkan keseluruhan naskah akademik dan RUU ini telah menempatkan rakyat didalamnya ada buruh, petani, masyarakat adat, nelayan, perempuan, mahasiswa, pengajar, dan seluruh masyarakat miskin di desa maupun di kota dalam situasi rentan mengalami krisis dan menjadi aset untuk menjadi TENAGA KERJA MURAH. Lalu kenapa NEGARA INI HARUS HADIR ? SIAPA SEBENARNYA YANG MEREKA WAKILI ?

Terima kasih,

PANCASALAH

SATU, KETUHANAN YANG MAHA HORMAT

DUA, KEMANUSIAAN YANG ADIL BAGI PARA BIROKRAT

TIGA, PERSATUAN PARA INVESTOR

EMPAT, KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH KHIDMAT PENINDASAN DALAM PERMUSYAWARATAN DIKTATORAL

LIMA, KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT KELAS ATAS

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama