PENOLAKAN UU PILKADA !!!


Sumber : google.com
Kondisi politik yang terjadi di Indonesia pada saat ini memanas, dikarenakan DPR-RI mensahkan UU Pilkada yang berjumlah 192 pasal. Adapun inti dari UU Pilkada tersebut adalah pengembalian pemilihan kepala daerah kepada DPR-RI. Adapun alasan pengusul kebijakan tersebut adalah ;




a) Banyak Kepala Daerah yang terbelit kasus korupsi.
b) Banyak dugaan kecurangan dari Pilkada yang melibatkan penyelenggara.
c) Sering terjadi konflik hingga kerusuhan fisik.
d) Biaya yang di keluarkan sangat besar. Pilkada bias terjadi dua putaran, bahkan tiga putaran jika MK menemukan fakta kecurangan sehingga berefek ratusan miliar uang APBN/APBD akan habis terkuras.
                Polemik ini menimbulkan banyak pro-kontra karena terkesan ajang balas dendam karena yang akan menjadi Kepala Daerah tentu saja mereka yang memiliki kekuatan dan partai yang dominan. Adapun, masalah yang di sorot di sini adalah peran rakyat di batasi dengan tidak ikut serta dalam penentuan Kepala Daerah. Padahal, marwah dari Demokrasi itu adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Lalu, kemana peran rakyat? Terkait polemik ini, PMKRI Cab.Padang mengadakan diskusi tentang pandangan terhadap UU Pilkada yang telah ketuk palu.
                Pada dasarnya, UU Pilkada adalah upaya untuk menguasai sIstem birokrasi di Negara ini.  Hal ini di dorong karena rata-rata di seluruh daerah yang paling banyak menduduki kursi di DPR adalah gabungan Partai Politik yang kalah pasca pemilihan Pilpres. Firmauli berpendapat, “apabila UU ini di laksanakan, tentunya kita sudah mengetahui orang-orang yang akan memimpin”. Sehingga, para Pemimpin Daerah akan bertanggung jawab hanya kepada DPR bukan ke Rakyat, karena yang memilih mereka adalah DPR. San Siregar mengemukakan, “sistem ini akan mengakibatkan politik balas budi di kalangan elite Parpol”. Alhasil, segala bentuk kepentingan Partai Politik akan berjalan dengan mulus karena akan di bantu oleh orang  yang memimpin pada saat itu.
                Penghematan anggaran adalah salah satu alasan di canangkan nya kebijakan ini. Akan tetapi, melihat kondisi negara saat ini, akan lebih baik jika pemberantasan korupsi lebih di giatkan, sehingga anggaran dapat lebih maksimal. Terkait permasalahan ini, San Siregar berpendapat, ”sudah sepantas nya Negara memfasilitasi rakyat dalam hal berdemokrasi”. Alasan penghematan anggaran hanyalah alasan belaka bagi mereka untuk meloloskan kepentingan kelompok bukan lagi kepentingan rakyat,dan juga alasan tersebut tidak mendasari secara sistematis dikeluarkannya UU Pilkada.
                Veronika Turnip berpendapat,”UU Pilkada berarti kita kembali ke zaman ORBA (Orde Baru) yang bersifat otoriter”. Dimana segala bentuk lingkungan pemerintahan pada saat itu bersifat parlementer. Memang Undang-undang yang baik jika system demokrasi telah terselenggara secara penuh, tetapi, ketika kita berbicara demokrasi dengan kondisi kekinian, dimana fanatisme menumpulkan segala akal sehat,apakah Indonesia memang sudah menyelenggarakan demokrasi secara utuh ? Apakah mereka yang duduk dikursi pemerintahan tetap bersuara bersama rakyat tanpa komunikasi politik yang dibahasakan secara pragmatis ?
                Undang-undang Pilkada telah mendukung proses untuk terjadinya indikasi KKN yang seharusnya menjadi alasan kenapa undang-undang ini diberlakukan bagi pihak koalisi. Safrida Malau melihat, “UU Pilkada ini hanya akan membatasi hak-hak rakyat untuk memilih dan dipilih”. Secara struktural, telah membatasi hak-hak dan kewajiban masyarakat sipil sebagai warga Negara, kaum-kaum yang termarjinal kan secara struktural maupun kultural sulit untuk melakukan perjuangan klas dikarenakan proses-proses birokrasi yang diperumit oleh politik pragmatis akibat implementasi undang-undang tersebut.Dan jika kita berpandangan secara skeptis, secara struktural undang-undang ini akan mengakibatkan kudeta terhadap pemerintahan yang baru. Pram mengemukakan “Dengan diberlakukannya undang-undang ini,akan mengakibatkan pemerintahan daerah bersifat absolut” sejarah kembali terulang. Dengan sifat pemerintahan daerah yang absolut akan semakin mensenjangkan stratifikasi yang ada di dalam masyarakat,mereka hanya akan bersuara secara subjektif,bukan objektif.
                Rakyat hanya mengharapkan apa yang mereka suarakan terkait problematika sosial, kembali disuarakan di jajaran pemerintahan dan turut bersuara bersama mereka, demi terciptanya cita-cita Nasional yang tekandung dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Jangan salahkan rakyat ketika melakukan pergerakan yang hampir sama saat prores transisi dari orde baru ke reformasi, jangan salahkan rakyat jika berpandangan secara radikal terhadap isu-isu pemerintahan dan jangan salahkan rakyat ketika demokrasi mulai luntur,rakyat melakukan revolusi. Mainset money politic yang berlaku, seharusnya dijadikan evaluasi dan memperbaiki sistem, bukan mencari pintu lain melalui sistem yang lain pula ,sehingga menimbulkan berbagai polemik yang cukup mendasar, apakah Negara kita serta penyelenggara dari Negara tersebut adalah pemerintah, tetap berpegang teguh terhadap nilai-nilai Pancasila ? Apakah mereka masih menjiwai semangat nasionalis ? (BGK)

Posting Komentar

Please Select Embedded Mode To Show The Comment System.*

Lebih baru Lebih lama