Sumber : google.com |
a) Banyak Kepala Daerah yang terbelit kasus korupsi.
b) Banyak dugaan kecurangan dari Pilkada yang melibatkan penyelenggara.
c) Sering terjadi konflik hingga kerusuhan fisik.
d) Biaya yang di keluarkan sangat besar. Pilkada bias terjadi dua
putaran, bahkan tiga putaran jika MK menemukan fakta kecurangan sehingga
berefek ratusan miliar uang APBN/APBD akan habis terkuras.
Polemik ini
menimbulkan banyak pro-kontra karena terkesan ajang balas dendam karena yang
akan menjadi Kepala Daerah tentu saja mereka yang memiliki kekuatan dan partai
yang dominan. Adapun, masalah yang di sorot di sini adalah peran rakyat di
batasi dengan tidak ikut serta dalam penentuan Kepala Daerah. Padahal, marwah
dari Demokrasi itu adalah dari rakyat, oleh rakyat, untuk rakyat. Lalu, kemana
peran rakyat? Terkait polemik ini, PMKRI Cab.Padang mengadakan diskusi tentang
pandangan terhadap UU Pilkada yang telah ketuk palu.
Pada dasarnya,
UU Pilkada adalah upaya untuk menguasai sIstem birokrasi di Negara ini. Hal ini di dorong karena rata-rata di seluruh
daerah yang paling banyak menduduki kursi di DPR adalah gabungan Partai Politik
yang kalah pasca pemilihan Pilpres. Firmauli berpendapat, “apabila UU ini di
laksanakan, tentunya kita sudah mengetahui orang-orang yang akan memimpin”.
Sehingga, para Pemimpin Daerah akan bertanggung jawab hanya kepada DPR bukan ke
Rakyat, karena yang memilih mereka adalah DPR. San Siregar mengemukakan,
“sistem ini akan mengakibatkan politik balas budi di kalangan elite Parpol”.
Alhasil, segala bentuk kepentingan Partai Politik akan berjalan dengan mulus
karena akan di bantu oleh orang yang
memimpin pada saat itu.
Penghematan
anggaran adalah salah satu alasan di canangkan nya kebijakan ini. Akan tetapi,
melihat kondisi negara saat ini, akan lebih baik jika pemberantasan korupsi lebih di
giatkan, sehingga anggaran dapat lebih maksimal. Terkait permasalahan ini, San
Siregar berpendapat, ”sudah sepantas nya Negara memfasilitasi rakyat dalam hal
berdemokrasi”. Alasan penghematan anggaran hanyalah alasan belaka bagi mereka
untuk meloloskan kepentingan kelompok bukan lagi kepentingan rakyat,dan juga
alasan tersebut tidak mendasari secara sistematis dikeluarkannya UU Pilkada.
Veronika Turnip
berpendapat,”UU Pilkada berarti kita kembali ke zaman ORBA (Orde Baru) yang
bersifat otoriter”. Dimana segala bentuk lingkungan pemerintahan pada saat itu
bersifat parlementer. Memang Undang-undang yang baik jika system demokrasi
telah terselenggara secara penuh, tetapi, ketika kita berbicara demokrasi
dengan kondisi kekinian, dimana fanatisme menumpulkan segala akal sehat,apakah
Indonesia memang sudah menyelenggarakan demokrasi secara utuh ? Apakah mereka
yang duduk dikursi pemerintahan tetap bersuara bersama rakyat tanpa komunikasi
politik yang dibahasakan secara pragmatis ?
Undang-undang
Pilkada telah mendukung proses untuk terjadinya indikasi KKN yang seharusnya
menjadi alasan kenapa undang-undang ini diberlakukan bagi pihak koalisi.
Safrida Malau melihat, “UU Pilkada ini hanya akan membatasi hak-hak rakyat
untuk memilih dan dipilih”. Secara struktural, telah membatasi hak-hak dan
kewajiban masyarakat sipil sebagai warga Negara, kaum-kaum yang
termarjinal kan secara struktural maupun kultural sulit untuk melakukan perjuangan klas
dikarenakan proses-proses birokrasi yang diperumit oleh politik pragmatis
akibat implementasi undang-undang tersebut.Dan jika kita berpandangan secara skeptis, secara struktural
undang-undang ini akan mengakibatkan kudeta terhadap pemerintahan yang baru. Pram
mengemukakan “Dengan diberlakukannya undang-undang ini,akan mengakibatkan
pemerintahan daerah bersifat absolut” sejarah kembali terulang. Dengan sifat
pemerintahan daerah yang absolut akan semakin mensenjangkan stratifikasi yang
ada di dalam masyarakat,mereka hanya akan bersuara secara subjektif,bukan
objektif.
Rakyat hanya
mengharapkan apa yang mereka suarakan terkait problematika sosial, kembali disuarakan
di jajaran pemerintahan dan turut bersuara bersama mereka, demi
terciptanya cita-cita Nasional yang tekandung dalam Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945. Jangan salahkan rakyat ketika melakukan pergerakan yang hampir sama
saat prores transisi dari orde baru ke reformasi, jangan salahkan rakyat jika
berpandangan secara radikal terhadap isu-isu pemerintahan dan jangan salahkan
rakyat ketika demokrasi mulai luntur,rakyat melakukan revolusi. Mainset money politic yang berlaku, seharusnya
dijadikan evaluasi dan memperbaiki sistem, bukan mencari pintu lain melalui sistem yang lain pula ,sehingga
menimbulkan berbagai polemik yang cukup mendasar, apakah Negara kita serta
penyelenggara dari Negara tersebut adalah pemerintah, tetap berpegang teguh
terhadap nilai-nilai Pancasila ? Apakah mereka masih menjiwai semangat
nasionalis ? (BGK)
Tags
ARTIKEL